budidaya jangkrik
Sejak beberapa tahun
lalu, jangkrik telah menjadi salah satu komoditas peternakan yang
banyak dilirik masyarakat. Tingginya permintaan terhadap jangkrik
sebagai pakan
burung kicauan dan ikan, memicu masyarakat untuk mengembangkan bisnis
budidaya jangkrik. Alhasil, budidaya jangkrik merajalela di mana-mana
dan menjadi ladang subur untuk meraup rupiah.
Seiring dengan itu,
beberapa koperasi jangkrik sebagai wadah para peternak pun mulai
bermunculan. Namun, permasalahan kerap muncul terutama karena fluktuasi
harga bersinergi dengan perilaku pasar yang cenderung tidak berpihak
pada peternak, di mana jika pasokan bahan baku sedikit, sedangkan
kebutuhan masyarakat besar, harganya melambung tinggi. Sebaliknya, bila
pasokan bahan baku banyak (booming produksi) harganya turun drastis,
bahkan tidak ada harganya. Hal inilah yang biasanya membuat peternak
menjadi geram lantaran alokasi hasil panen masih sebatas untuk pakan
burung kicauan dan ikan.
Baru pada dekade
awal tahun 2000-an, bisnis budidaya jangkrik mulai kembali menunjukkan
titik terang. Hasil panennya tidak lagi sekadar sebagai pakan burung dan
ikan, melainkan bisa diolah menjadi bahan baku industri makanan,
farmasi dan kosmetik. Ya, berdasarkan penelitian yang dilakukan para
pakar terhadap komposisi kimia pada jangkrik, ditemukan bahwa di dalam
tubuh jangkrik terkandung berbagai senyawa bernilai gizi tinggi dan
bernilai farmakologi yang cukup baik.
Selain itu, para
peternak pun tak perlu lagi khawatir hasil panennya tidak tertangani
dengan baik. Sebuah wadah organisasi berskala nasional bagi peternak
jangkrik di bawah bendera Forum Komunikasi Peternak Agromitra Swadaya
Jangkrik Indonesia (FKP Askrindo), yang salah satu cabangnya beralamat
di Desa Karang RT 04 RW II, timur Sub Terminal Delanggu, Klaten, siap
membantu peternak mulai dari pengadaan sarana budidaya hingga pembelian
hasil panen.
“Kami bekerja sama
dengan PT Agromitra Swadaya Indonesia yang bermukim di bilangan Jl Mr
Abdul Madjid Djojodiningrat No 8 Bulusan, Tembalang, Semarang, mempunyai
program yang intinya adalah pemberdayaan masyarakat dalam arti
seluas-luasnya. Dalam hal ini, FKP Askrindo bermaksud memberikan solusi
bagi masyarakat yang tertarik dalam usaha ini untuk ikut berperan di
dalamnya,” ungkap Icuk Tri Purwanto, seorang peternak full time yang
aktif sebagai pengurus FKP Askrindo cabang Klaten.
Menurut Icuk, bisnis
budidaya jangkrik sebagai bahan baku industri makanan, farmasi, dan
kosmetik, memiliki tingkat kesuksesan yang tinggi. Namun, tentu saja,
hal itu sangat tergantung pada kemampuan dan keseriusan para peternak
sendiri.
“Alternatif
berwirausaha jangkrik sebenarnya sangatlah mudah dan menguntungkan
apabila dikerjakan dengan serius. Selain ramah lingkungan, dari segi
permodalan juga relatif terjangkau. Selain itu, masa pemeliharaannya
juga relatif singkat. Jangkrik umur 35 hari sudah bisa dipanen,” jelas
Icuk.
Untuk memulai usaha
budidaya jangkrik ini, peternak hanya perlu membeli paket sarana ternak
(PST) yang sudah disediakan oleh FKP Askrindo, terdiri atas 6 ons telur
jangkrik seharga Rp 45.000/ons dan 120 kg pakan khusus yang telah
mendapat lisensi dari pihak pemakai produk seharga Rp 7.500/kg, membayar
biaya registrasi sebesar Rp 25.000, dan biaya transportasi sebesar Rp
50.000. Total biaya seluruhnya adalah Rp 1.245.000.
“Untuk kandang
pemeliharaan bersifat fleksibel. Peternak bisa membuatnya sendiri
disesuaikan dengan anggaran yang dimiliki tanpa harus order dari FKP.
Kandang biasanya berupa kotak kardus atau dari bahan tripleks berukuran
200x80x40 cm dengan kapasitas tampung sebanyak 1 ons telur jangkrik.
Jadi diperlukan enam buah kotak untuk satu paket,” terang Icuk.
Dalam hal panen,
setelah waktunya tiba, peternak bisa langsung mengirimkan hasil ke
sekretariat FKP dan akan langsung dilakukan penimbangan. Sedangkan untuk
pengiriman ke pabrik pengolahan di PT Agromitra Swadaya Indonesia,
dilakukan dengan sistem beku untuk menjamin tidak adanya penyusutan
hasil panen peternak.
“Untuk satu PST
biasanya menghasilkan antara 60-80 kg jangkrik hidup sehat umur 35 hari,
yang akan dibeli oleh FKP Askrindo dengan harga Rp 30.000/kg. Agar
hasil panen bisa diterima maka fasilitas berupa kartu anggota diberikan
sebagai jaminan pemasaran yang telah direkomendasi pihak PT Agromitra
Swadaya Indonesia,” jelas Icuk.
Selaku penjamin
pasar, PT Agromitra Swadaya Indonesia juga telah mengadakan penelitian
dan uji klinis di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Bogor, dan menemukan dalam tubuh jangkrik kalung (jangkrik
yang memiliki warna kuning menyerupai kalung di bagian leher) terkandung
berbagai senyawa potensial, seperti Lysine dan Cystein, asam lemak
berantai panjang (Omega 3 dan Omega 6), dan kandungan hormon Steroid
(Estrogen, Progesteron, dan Testosteron), serta protein kolagen, yang
sangat bermanfaat sebagai bahan baku industri farmasi, makanan diet,
kosmetik, dan substitusi pakan ternak.
“Sehingga walaupun
terjadi booming produksi secara nasional, PT Agromitra tetap memiliki
pasar potensial yang tidak terbatas. Bahkan produk protein kolagen yang
dihasilkan mesin pengolah jangkrik yang telah dimiliki PT Agromitra
telah mengundang kekaguman buyer dari negara maju seperti Jepang, yang
baru-baru ini telah mengutarakan niatnya untuk mengimpor produk
tersebut,” ujar Icuk.
Menurut Icuk,
kapasitas produksi mesin pengolah jangkrik tersebut mencapai 10
ton/hari. Dan untuk memenuhi kuota tersebut, setiap FKP yang tersebar di
20 kabupaten di Indonesia, harus mengirimkan minimal 250 kg/hari.
“Hal itu berarti di
setiap FKP minimal harus ada tiga peternak yang menyetor hasil panen
masing-masing 80 kg setiap harinya. Namun sampai sekarang kuota itu
belum bisa dipenuhi oleh FKP. Dengan demikian peluang bisnis budidaya
jangkrik ini masih terbuka sangat lebar bagi masyarakat yang berminat
untuk terjun di dalamnya,” ungkap Icuk. (Suharsih/SOLOPOS 16 April 2006